Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa  Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini  tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili  terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa,  Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan  Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri  sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh  dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. Kerajaan sigi  dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang  berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh  kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya  permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam  aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu  mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu  disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk  menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading  kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam. 
Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai  kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan  yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat  perjanjian persahabatan.
Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke  Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil  Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan  sebatang tonggak panjang (Tokong –bgs-) ketika meninggalkan pulau itu  Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan  sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang  terletak di kampung kaleke. 
Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan,  sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan  calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk  menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun  diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang  mengharuskan pertarungan itu dibatalkan. 
Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam  -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran  Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga  kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman  se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan  kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi  marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat  sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga  seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun  menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong  berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan  cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga  tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan  melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.
Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah  menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi  penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya  membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.
Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda  Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan  kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi,  salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu  sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan  sbb,
Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar  Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya  masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung,  maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang  terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu  Tongoa dan Sandipo. 
Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit  itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu  rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang  sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu  sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia  yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang  masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian  rawa.
Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas  itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang  untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat  kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah  anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus  menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan  masyarakat Lindu.
Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan  yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua  maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat  untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah  itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu. 
Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot,  silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap  pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu  dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga  mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas  bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu  berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam  mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang  diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan  cepat menyelesaikan masalah. 
Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang  raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl  arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan  penjelmaan daun “tovavako”.  Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga  Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan  ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan  itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.
Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan  terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di  Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya  dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas  sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti  dimaksudkan masyarakat Lindu itu.
Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar  istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku  pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama  Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik  seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan.  Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke  kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di  Lindu. 
Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan  Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin  hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama  di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi  terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah  kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; “Payung ri Wulu, Somba ri Gua,  Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo”. 
Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para  utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan  berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif.  Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri  dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama  menuju ke kerajaan Luwu.  Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan  baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat  hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati  perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari  Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan  berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah  seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara  mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam  Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.
Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia  meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah  terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan  sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena  keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi  yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari.  Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah  si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu.  Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan  waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak  keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan  buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara  Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling  menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan  berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah.  Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama. 
Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh  masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan  pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan  perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata  karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak  dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya  bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang. 
Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana  berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya  yang tajam  menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan  mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang  besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi  tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun  cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan  diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui  ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.
Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita  oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil  mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu  yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru  dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa,  diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut  terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan  membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan  tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa  aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.
Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat  antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak,  membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di  sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau  Lindu.
Meskipun  mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita  rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan  terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing  pemburu.
Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan  danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi  selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan  Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu  dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang  perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada). 
Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita  rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan  Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan  persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat  diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone  dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17.  adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam  epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal  raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara  kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,) 
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa  kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk  suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk  membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan  beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang  dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam  tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas  atau sebutannya. 
Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk  pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat  sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan  mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan  dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,)  mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja,  dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, daá dan  lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada  suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada “to  panambe” , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan  menggunakan alat penangkap ikan yang disebut “panambe”, sedangkan untuk  suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya,  dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim  di palu.
Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya  identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat  mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga  masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau  orang yang bermukim di dataran Lindu. 
To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili.  Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat  dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam  pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu  dapat disebut sesuai dengan  nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru,  3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To  Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi  dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To  Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.
Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik  tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan  ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok  kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang  dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang  merupakan pernyataan kulturalnya.
 Hal demikian dapat dijumpai  pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah  cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi  suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam  sub etnis Lindu.
Hal demikian dapat dijumpai  pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah  cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi  suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam  sub etnis Lindu. Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado.  Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun  bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Daá dan lain-lain.  Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok  masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa  Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain  dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan  populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva,  juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan  sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek “Tado Mbei”  , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva,  mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang  bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu,  suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa  saat ini. 
To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun  mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai  ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri  mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas.  Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan  berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos  dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa  kini. 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
http://lorelindu.wordpress.com/2009/03/06/kisah-terjadinya-danau-lindu/





 


0 komentar:
Posting Komentar